Tidak bisa dipungkiri bahwa pasangan suami istri yang normal, tentu sangat menantikan kehadiran anak pasca menikah. Itu sudah merupakan tabiat manusia normal. Pria berharap ada anak yang melanjutkan nasabnya. Wanita berharap bisa menyalurkan naluri keibuannya. Menimang, menyusui, merawat dan mengungkapkan perasaan sayangnya kepada anak.
Manusia boleh berkehendak. Namun pada akhirnya, kehendak Allah lah yang menentukan segala sesuatu. Dalam firman-Nya dijelaskan,
“لِلَّهِ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ يَخْلُقُ مَا يَشَاءُ يَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ إِنَاثًا وَيَهَبُ لِمَنْ يَشَاءُ الذُّكُورَ . أَوْ يُزَوِّجُهُمْ ذُكْرَانًا وَإِنَاثًا وَيَجْعَلُ مَنْ يَشَاءُ عَقِيمًا إِنَّهُ عَلِيمٌ قَدِيرٌ”
Artinya: “Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi. Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki. Atau Dia menganugerahkan anak laki-laki dan perempuan. Dan menjadikan mandul siapa yang dikehendaki-Nya. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa”. QS. Asy-Syura (42): 49-50.
Realita yang termaktub di ayat di atas bahkan juga dialami oleh para Nabi dan Rasul ‘alaihimush shalatu was salam. Nabi Luth ‘alaihissalam semua anaknya perempuan, beliau tidak memiliki anak laki-laki. Nabi Ibrahim ‘alaihissalam tidak memiliki anak perempuan, semua anaknya laki-laki. Nabi Adam ‘alaihissalam dan Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam_ dikaruniai anak laki-laki dan perempuan. Sedangkan Nabi Yahya ‘alaihissalam tidak dikaruniai anak. Lihat: Tafsîr al-Baghawiy (7/200) dan Tafsîr al-Qurthubiy (18/502).
Jika para manusia istimewa tersebut di atas saja mengalami kondisi ini, apalagi manusia biasa.
Ayat barusan ditutup dengan dua nama Allah: Al-‘Alîm (Maha Mengetahui) dan Al-Qadîr (Maha Kuasa). Ini menarik untuk kita renungkan. Bahwa Allah menakdirkan beragam macam kondisi orang tua dipandang dari sisi karunia anak; sebab Dia Maha Mengetahui siapakah di antara hamba-Nya yang berhak mendapat karunia tersebut dan siapa yang tidak. Selain itu Allah juga Maha Kuasa untuk menakdirkan kondisi yang berbeda-beda tersebut. Lihat: Tafsîr Ibn Katsîr (7/216).
Keterangan di atas bukan untuk menghalangi manusia berikhtiar agar mempunyai anak. Selama ikhtiar itu dibenarkan agama. Namun untuk menjelaskan bahwa yang akan menentukan berhasil atau tidaknya ikhtiar tersebut adalah Allah ta’ala.
Peluang Itu Tidak Punah
Ternyata tidak memiliki anak di dunia, bukan berarti tidak bisa memilikinya di akhirat. Yang penting ia adalah mukmin dan menjadi ahli surga. Hadits berikut menjelaskan,
« المُؤْمِنُ إِذَا اشْتَهَى الوَلَدَ فِي الجَنَّةِ كَانَ حَمْلُهُ وَوَضْعُهُ وَسِنُّهُ فِي سَاعَةٍ كَمَا يَشْتَهِي»
“Seorang mukmin yang sangat ingin memiliki anak, di surga kelak ia bisa mengandungnya, melahirkannya dan tumbuh besar dalam sesaat, sesuai dengan yang ia inginkan”. HR. Tirmidziy dari Abu Sa’id al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban serta al-Albaniy.
Ini adalah satu bukti kebenaran firman Allah ta’ala,
“وَفِيهَا مَا تَشْتَهِيهِ الأنْفُسُ وَتَلَذُّ الأعْيُنُ وَأَنْتُمْ فِيهَا خَالِدُونَ”
Artinya: “Di dalamnya (surga) terdapat segala apa yang diinginkan hati dan indah (dipandang) mata, serta kalian kekal di dalamnya”. QS. Az-Zukhruf (43): 71.
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 4 Dzulhijjah 1443 / 4 Juli 2022
Artikel: tunasilmu.com
Saat ini belum tersedia komentar.