Seringkali orang tua terlalu emosi dalam memarahi dan menghukum anak, sehingga tanpa sadar mengeluarkan kata-kata kasar atau caci maki. Hal semacam ini harus dihindari, karena akan melukai perasaan anak. Kerapkali orang tidak menyadari bahwa kata-kata yang menyakitkan, terkadang lebih dahsyat pengaruhnya dibanding hukuman fisik. Jika anak sedikit-sedikit dibilang “bodoh” atau “nakal”, dia akan menganggap dirinya memang demikian adanya.
Kita juga harus waspada, bisa jadi kata-kata kasar itu menjadi doa yang dikabulkan Allah ta’ala. Bila anak tumbuh tidak sesuai harapan orang tua, mungkin itu akibat perkataan orang tuanya sendiri. Oleh karena itu, jika orang tua terpaksa bersikap keras, hendaklah ucapan dan perbuatannya harus tetap terkendali. Sehingga tidak mengeluarkan kata-kata kasar.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling lembut dan sangat menghindari mencela anak. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menuturkan pengalamannya saat masih kecil,
“خَدَمْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَشْرَ سِنِينَ، وَاللهِ مَا قَالَ لِي: أُفًّا قَطُّ، وَلَا قَالَ لِي لِشَيْءٍ: لِمَ فَعَلْتَ كَذَا؟ وَهَلَّا فَعَلْتَ كَذَا؟”
“Aku telah menjadi pembantu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selama sepuluh tahun. Demi Allah, beliau tidak pernah sekalipun mengucapkan padaku, “Hus!”. Juga tidak pernah berkata padaku, “Mengapa kau kerjakan ini? Seharusnya kamu lakukan itu!”. HR. Bukhari (no. 6038) dan Muslim (no. 2309).
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam tak pernah mencela Anas atas sesuatu yang terlanjur tidak dikerjakan. Sebab masih ada kesempatan untuk dilakukan, jika memang diperlukan. Sehingga lisan Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa terjaga dari kata-kata kasar dan bentakan. Selain itu perasaan dan psikis Anas juga terjaga. Tentunya hal ini berlaku pada urusan dan kepentingan pribadi. Adapun bila terkait kewajiban agama, maka harus dilakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Itupun perlu dilakukan secara bijaksana.
Apakah Tidak Kontraproduktif?
Mungkin akan ada yang berkomentar, “Jika kita selalu bersikap lemah lembut dan banyak toleran, nanti anak bakal semakin berani melakukan pelanggaran. Khawatirnya malah kita tidak bisa mengarahkannya!”.
Jawabannya: “Mengapa hal yang dikhawatirkan tersebut tidak terjadi pada anak-anak yang dibimbing Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam? Buktinya: Anas, Ibnu Abbas, Zaid bin Haritsah, Usamah bin Zaid, putra-putra Ja’far, maupun anak-anak lainnya yang dididik Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam justru malah menjadi tokoh dan panutan kebaikan”.
“Tapi kan kondisi anak-anak hari ini berbeda dengan zaman itu!” kilah sebagian orang.
Jawabannya: “Tidak semua orang yang dihadapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat itu berperilaku baik. Ada juga yang pemabuk, ahli maksiat, bahkan kafir. Namun berkat taufik Allah, lalu kelembutan sikap beliau; akhirnya mereka tersadar dan kembali ke jalan yang benar”.
Sebenarnya problem besar kita hari ini adalah sikap ketergesa-gesaan. Orang tua selalu ingin cepat melihat hasil, tanpa mau bersabar dan telaten menjalani proses. Serba instan.
Pendidikan anak itu diawali dengan perbaikan perilaku orang tua. Orang tua harus menjadi pribadi yang mengagumkan bagi anak. Jika selama ini selalu marah-marah, sering mengabaikan anak, atau berakhlak buruk, niscaya hasil tidak akan seperti yang diharapkan. Orang tua perlu mengubah citra mereka di mata anak. Ketahuilah bahwa kekuatan kata-kata itu bukan muncul dari kata-kata itu sendiri, namun juga muncul dari siapa yang mengucapkannya. Sebab pribadi yang mengucapkannya akan menambah bobot ucapan itu.
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 4 Shafar 1445 / 21 Agustus 2023
Diringkas oleh Abdullah Zaen dari Islamic Parenting, karya Jamal Abdurrahman (hal. 112-114) dan Ternyata Mendidik Anak Cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam Mudah dan Efektif, karya Wendi Zarman (hal. 310, 336).
Saat ini belum tersedia komentar.