Penampilan luar seseorang adalah cerminan dari ideologi dan pemahaman yang diyakininya. Sehingga sejak dini orang tua perlu memperhatikan penampilan putra-putrinya. Gaya cukuran rambutnya, model pakaiannya, begitu pula sikap dan gerak-geriknya. Walaupun masih kecil, itu bukan alasan untuk membiarkan anak melakukan perilaku negatif. Sebab jika dibiarkan, dikhawatirkan akan menjadi kebiasaan buruk hingga beranjak dewasa. Akibatnya kelak sulit untuk dihilangkan.
Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma menuturkan,
أَنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى صَبِيًّا حَلَقَ بَعْضَ شَعْرِهِ وَتَرَكَ بَعْضَهُ، فَنَهَى عَنْ ذَلِكَ وَقَالَ: «احْلِقُوهُ كُلَّهُ، أَوِ اتْرُكُوهُ كُلَّهُ»
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat seorang bayi yang sebagian sisi rambutnya dicukur habis, sedangkan sebagian yang lain dibiarkan. Maka beliaupun melarang hal tersebut, seraya bersabda, “Cukur habislah semua rambutnya, atau biarkan semua”. HR. Abu Dawud dan dinilai sahih oleh Ibn Hibban juga al-Albaniy.
Bahkan untuk memastikan model cukuran anak-anak, beliau sendiri mengawasi proses pencukuran mereka. Yakni saat beliau menjenguk putra-putra sepupu beliau; Ja’far bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu pasca wafatnya. Beliau bersabda,
«ادْعُوا إِلَيَّ الْحَلاقَ، فَجِيءَ بِالْحَلاقِ فَحَلَقَ رُءُوسَنَا»
“Tolong panggilkan kemari tukang cukur. Setelah tiba, tukang cukur tersebut memangkas rambut kami (anak-anak Ja’far)”. HR. Ahmad dan dinilai sahih oleh adh-Dhiya’ al-Maqdisiy serta al-Albaniy.
Hadits ini menunjukkan bahwa orang tua seharusnya peduli dengan penampilan rambut anak-anaknya. Kapan saatnya mereka dicukur, dan kapan belum. Lalu juga memastikan, apakah model cukuran mereka melanggar aturan agama atau tidak? Menyerupai gaya cukuran rambut non muslim atau tidak?
Selain cukuran rambut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam juga memperhatikan pakaian anak. Memastikan agar tidak menyelisihi aturan agama. Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhu mengisahkan,
رَأَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ، فَقَالَ: «إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلَا تَلْبَسْهَا»
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihatku mengenakan dua pakaian mu’ashfar (pakaian yang dicelup dengan tetumbuhan ‘Ushfur sehingga menghasilkan warna merah kekuningan). Maka beliau bersabda, “Ini adalah pakaian orang-orang kafir. Janganlah engkau memakainya”. HR. Muslim.
‘Sekedar’ menyerupai warna pakaian orang kafir saja dilarang. Apalagi pakaian yang memuat simbol-simbol keagamaan mereka. Semisal salib, simbol Yahudi, gambar berhala atau dewa. Juga pakaian yang memuat tulisan-tulisan tidak bermoral, atau gambar yang memamerkan aurat. Ini semua dan yang semisal tidak layak dikenakan oleh muslim dan muslimah yang telah dimuliakan Allah dengan ajaran Islam.
Anas radhiyallahu ‘anhu menambahkan,
«نَهَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَتَزَعْفَرَ الرَّجُلُ»
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melarang pria untuk mengenakan Za’faran (warna yang dihasilkan tetumbuhan Za’faran, biasanya dikenakan wanita)”. HR. Bukhari dan Muslim.
Ini menunjukkan larangan memakai busana yang biasa dipakai lawan jenis. Pria tidak boleh mengenakan pakaian wanita, begitu pula sebaliknya. Juga tidak boleh memakai busana yang menonjolkan aurat. Sejak dini anak-anak perlu dididik dan diarahkan—dengan cara yang baik—untuk menghindari hal-hal terlarang tersebut. Guna mencegah munculnya penyimpangan orientasi seksual, semisal Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender.
Pesantren “Tunas Ilmu” Kedungwuluh Purbalingga, 2 Shafar 1444 / 29 Agustus 2022
Saat ini belum tersedia komentar.